Nilai Spiritualitas Dibalik Konsep Limit

Pada konsep limit, kita pahami bersama bahwa nilai yang digunakan sebenarnya adalah nilai yang mendekati. Misal limit lima, artinya pembahasannya adalah nilai yang mendekati lima. Bisa saja nilainya adalah 4,95 4,96 4,97 4,98 4.99 5,01 5,02 5,03 5,04 5,05. Nilai-nilai tersebut dalam konsep limit selanjutnya akan dianggap lima setelah dilakukan penyederhanaan bentuk aljabar.

Pada tulisan sebelumnya, kita contohkan dalam kehidupan sehari-hari adalah praktik praktis menimbang dimana ditemukan kesulitan mendapatkan nilai bulat dalam menimbang.



Kita contohkan kembali, semisal kita membeli buah mangga sebanyak 5 kg. Pedagang buah akan menimbangkan mangga sebanyak 5kg sesuai dengan permintaan pembeli. Dalam praktiknya, untuk mendapatkan mangga senilai 5kg pedagang perlu melakukan beberapa kali eksperimen dengan memilih/mengganti beberapa buah mangga yang ditimbang agar nilainya tepat sama dengan 5kg. Namun ketepatan menimbang buah tersebut dimungkinkan belum akurat, karena praktiknya dalam timbangan hanya sekedar menaksir bahwa nilainya sudah dekat dengan 5 sehingga disimpulkan bahwa mangga yang dibeli adalah 5kg. Dalam praktik semacam ini, antara pedagang dan pembeli sudah memaklumi sehingga terjadilah kesepakatan bahwa itu dianggap 5kg, walaupun sebenarnya mungkin tidak sama dengan 5kg hanya mendekati 5kg.

Terkait dengan hal itu, secara konsep bisnis mungkin saja ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Walaupun nilai pendekatan dalam praktik tersebut sudah dimaklumi dan dianggap umum, namun perlu juga kita lihat dari sisi yang lain. Dalam tulisan ini, kita akan melihat dari sisi nilai-nilai spriritualitas agama Islam. Mengapa ini kita tulis? ya, ini sebagai jawaban bahwa belajar matematika tidak semata-mata hanya belajar aljabar dalam bentuk variabel x, y dan z saja, namun ada konsep lain yang bisa kita gali agar belajar matematika juga memberi makna dalam kehidupan sehari-hari sekaligus kehidupan spiritualitas seorang muslim. Akan menjadi rugi ketika kita belajar matematika, namun ilmu yang kita pelajari itu ternyata kering dari nilai-nilai kehidupan dan spiritualitas.

Selanjutnya disini kita akan merujuk sebuah data yang disajikan oleh Ambok Pangiuk (tercantum dalam jurnal  IJIEB: Indonesian Journal of Islamic Economics and Business; Volume 4, Nomor 1, Juni 2019, 39-51). Pada data tersebut tersaji perbandingan antara nilai timbangan di pasar dan setelah ditimbang di rumah sebagai berikut:
Catatan: Satuan ons yang digunakan adalah satuan ons yang umumnya digunakan masyarakat (ons Belanda), bukan ons pada satuan internasional

Dari tabel tersebut dapat kita lihat bahwa nilai timbangan di pasar dengan nilai timbangan di rumah berbeda nilainya. Nilai timbangan di rumah cenderung memberikan nilai yang mendekati nilai timbangan pasar. Nilai mendekati ini dalam konsep matematika kita kenal dengan konsep limit. Namun, bukanlah seperti itu yang harus diterapkan dalam praktis keseharian kita. Jika praktiknya semacam ini, tentu ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan, dan hal ini sudah berjalan turun temurun dan dianggap hal yang wajar. Menurut saya, hal ini harus diluruskan agar sistem perekonomian kita menjadi lebih baik.

Maka ada baiknya pelaku pasar atau penjual menggunakan timbangan yang sesuai dan akurat semisal timbangan digital atau sepadannya yang dapat membaca nilai ukuran dengan tepat. Jika sulit didapat nilai bulat maka masih dapat dilihat nilai pendekatannya, misal 4 kg namun ketemu nilai 3,9 kg maka cukup dikatakan ke pembeli ada 3,9 kg dengan nilai harga dikalikan dengan yang tertera. Misal harga 1 kg beras adalah Rp10.000,00 maka 3,9 dikali dengan 10.000 diperoleh nilai harga Rp39.000,00. Praktik semacam ini saya pikir akan lebih adil dibandingkan dengan langsung membulatkan menjadi 4 kg atau pembeli membayar Rp40.000,00.

Dalam hal ini mari kita ingat peringatan Tuhan dalam Kitab Suci Al Quran (S. Al Mutaffifin):

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَۙ ١
الَّذِيْنَ اِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَۖ ٢
وَاِذَا كَالُوْهُمْ اَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَۗ ٣
  1. Celakalah orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)!
  2. (Mereka adalah) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi.
  3. (Sebaliknya,) apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka kurangi.
Kembali ke konsep limit dalam matematika, limit 5  tetap tidak dapat dikatakan sebagai sama dengan 5 namun tetap dikatakan sebagai limit mendekati 5. Jika kita mengatakan bahwa limit 5 adalah sama dengan 5, maka akan ditemui kecelakaan ketika bertransaksi dengan fungsi semisal fungsi:

$f(x)=\frac{x^2 -25}{x-5}$

Walaupun nilainya dapat dicari dengan menggantikan x=5 setelah dilakukan proses penyederhanaan aljabar, namun itu tetap dikatakan sebagai limit mendekati 5. Proses inilah yang perlu dicermati, apakah prosesnya benar atau prosesnya salah. Jika sudah berproses namun prosesnya salah maka dipastikan masih belum benar (dalam bahasa agama celaka). Jadi untuk menggantikan x=5 harus melalui proses yang benar. Dalam konteks pembahasan penimbangan diatas, proses benar bisa dilakukan dengan beragam cara, misal mengganti timbangannya yang dapat menakar dengan akurat, kemudian melakukan eksperimen tambah kurang obyek yang ditimbang sehingga diperoleh nilai yang dikehendaki pembeli, nilai yang tertera dikalikan dengan harga jual, dan lain sebagainya selama cara-cara yang dilakukan benar.

Semoga bermanfaat, Wallahu a'lam bish-shawab.

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama